Skip to main content

Ibuku Kartiniku

 
Ibuku seorang Kartini. Semangat Kartini telah menjadi bagian dari hidupnya. Walaupun seorang ibu rumah tangga yang hanya lulusan Sekolah Dasar, pemikirannya tak jauh berbeda dengan ibu-ibu lain yang merupakan lulusan SMA atau Perguruan Tinggi. Dia ikhlas bekerja di rumah mengurus keluarga, suami dan ketiga anaknya yang mempunyai karakter yang jelas berbeda dan susah diatur.
“Mba... Mba... Ayo bangun! Sudah subuh.” dengan sabar dan lembut ibu membangunkan ku dari mimpi panjang.
“Bangunkan juga adik-adikmu. Nanti kesiangan berangkat sekolahnya.”
Ibuku setiap hari bangun pukul tiga pagi, paling awal dari anggota keluarga yang lainnya. Ketika semua masih terlelap dalam balutan selimut, ibu sudah berada di dapur bergelut dengan perabotan dapur untuk mempersiapkan sarapan pagi keluarganya. Ketika adzan subuh mulai berkumandang, dibangunkannya satu persatu anggota keluarganya, mulai dari ayahku, lalu aku sebagai anak tertua, dan barulah tugasku membangunkan kedua adikku yang manis, dan yang ganteng.
Sholat subuh berjamaah tidak pernah absen dari keluarga kami setiap hari. Yang sering absen dari sholat berjamaah biasanya aku dan ibuku. Karena adikku yang cewek masih berumur delapan tahun, dia tidak pernah absen sholat berjamaah, walaupun kadang-kadang sangat susah dibangunkan dari tidurnya. Sebelum ayah berteriak, “Wi! Bangun!” dia tidak akan bangun. Sedangkan adikku yang cowok, dia paling rajin sholat berjamaahnya. Tidak heran kalau dia sering dipuji ayah, karena sekali dibangunkan langsung berdiri dan meluncur ke kamar mandi. Itu bukan karena apa-apa, tapi karena dia malas ngantri ambil air wudhu.
Setelah sholat subuh, ibu langsung menuju dapur melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Ayah, masih bertahan di tempat sholat untuk berdzikir sebelum mengawali aktivitasnya. Sedangkan aku dan adik-adik menuju kamar masing-masing meneruskan belajar, dan membereskan apa-apa yang mau dibawa ke sekolah.
Setelah buka-buka buku dan merapikannya, aku menemukan secarik kertas. “Astaghfirullah, ini kan surat edaran untuk orang tua. Kok bisa lupa? Ini karena kemarin keasyikan nonton drama asia sih!” kataku dalam hati.
“Ibu... Ibu... Ini ada edaran dari sekolah. Kemarin lupa mau ngasih.” kataku dengan agak menyesal.
“Aku juga, Bu.” kata Dewi dan Zi hampir bersamaan.
“Edaran apa? Coba bacakan!”
“Kartinian!” seru kami bertiga dengan bersamaan.
“Acaranya tanggal 21 April” kataku sambil menarik kertas punya adik-adikku.
“Mereka juga sama, Bu.”
“Oh, masih seminggu lagi. Ya sudah, edarannya taruh di meja depan, biar Ayah juga baca!” dengan sabar ibu mendengarkan anak-anaknya bicara, walaupun sedang sibuk memasak.
***

“Ibuuu... aku nggak mau didandani sama Mba Rini. Jelek! Masa nggak dikasih rambut palsu yang nongol di sini?” rengek Dewi pada ibu yang sedang masak di dapur sambil memegang kepala bagian belakang yang biasa dipasangi sanggul.
“Rambutnya kan pendek dan tipis jadi Rini nggak tega pasang sanggulnya, Bu.” kataku membela diri, padahal sebenarnya aku tidak bisa memasang sanggul.
“Ya sudah. Bener kata Mba mu, lebih baik tidak usah disanggul, ya? Adek begini saja, digerai rambutnya. Sudah cantik kok.”
“Nggak mau! Pokoknya disanggul! Temen-temen di sekolah kan disanggul semua, masa nggak sendiri?” rengek Dewi dengan mata berkaca-kaca.
“Ya sudah, sini ibu yang sanggulin! Mba, kamu gantiin ibu masak ya?” kata ibu sambil berlalu ke kamar. Aku tidak menjawab, tapi dengan gerak cepatku menyambar penggorengan dan teman-temannya, itu sudah cukup sebagai jawaban atas kesediaanku. Tak perlu banyak bicara langsung sambar agar tidak terlambat ke sekolah hanya gara-gara Dewi ngambek.
“Lho kok begini lagi? Kok nggak disanggul? Pokoknya sanggul....sanggul...!!” terdengar Dewi menangis di kamar.
“Adek, begini saja kan manis?”
“Kenapa, Bu?” tanyaku sambil masih memegang pisau dapur.
“Ini lho, adekmu. Bagaimana menurutmu dengan dandanan Ibu? Adekmu terlihat manis kan?”
“Ceile... sudah cekep bener begitu kok nangis? Nanti luntur lho bedaknya!” candaku.
“Apa senyum-senyum?” teriak Dewi padaku.
“Ada apa ini kok rame-rame?” tanya bapak yang tiba-tiba muncul di balik pintu.
“Ini lho, Pak. Dewi nangis karena tidak disanggul rambutnya, padahal dikasih jepit rambut begini saja kan sudah cakep dan manis, kan?” jelas ibu dengan sabar.
“Begini saja, ya Dek? Sudah cekep kok! Nanti kalau disanggul kasihan rambutnya. Nggak mau kan kepalanya botak karena rambutnya rontok keberatan sanggul? Nanti sehabis pulang Kartinian kita makan eskrim rame-rame” bujuk bapak pada Dewi.
“Asiik... makan es krim! Ya deh, nggak jadi ngambeknya soalnya nanti mau dibeliin es krim. Aku maunya yang rasa vanila ya, kesukaanku” raut muka adikku yang satu ini jadi cerah mendengar kata es krim.
“Ya, rasa apa saja boleh” kata Bapak.
“Kamu nggak pakai kebaya dan sanggul, Rin?”
“Tidak, Pak. Siswa tidak diwajibkan memakainya, hanya yang ikut lomba pidato saja yang diwajibkan.”
“Kalau nggak ikut lomba pidato, trus ikut lomba apa?” tanya bapak penasaran.
“Lomba menulis essai tentang wanita masa kini, Pak.”
“Hmm... Ya sudah kamu siap-siap berangkat ke sekolah, nanti terlambat!”
Aku langsung menuju dapur meletakkan pisau, dan cepat-cepat ke kamar untuk bersiap-siap ke sekolah. Acara memasak di dapur sudah diambil alih lagi oleh ibu. Dan, dalam sekejap sarapan sudah terhidang di meja makan.
***

Di sekolahku lomba berjalan dengan lancar, tak ada masalah. Walaupun tidak menang lomba aku senang bisa berpartisipasi dalam acara Kartinian ini. Si Zi juga tidak ada masalah di sekolahnya. Dia seorang laki-laki, jadi tak perlu repot dengan baju daerah, cukup baju seragam seperti biasa. Acara mendokumentasikan Kartinian di sekolahnya juga sukses. Nah, yang agak bermasalah adalah Dewi. Di sekolah dia diejek oleh teman-temannya karena rambutnya tidak disanggul sendiri. Tapi karena sudah dijanjikan es krim diabaikanlah ejekan teman-temannya itu. Dia sudah cukup merasa puas dengan pujian dari guru-gurunya kalau dia terlihat cantik dengan dandanannya yang unik itu.
***

Comments

Popular posts from this blog

Makna Kalimat Basmalah

Bismillahirrohmanirrohim (dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang), kalimat yang permulaan yang oleh Rosulullah sangat dianjurkan untuk dibaca setiap kali akan memulai suatu pekerjaan atau apapun. Kalimat ini diistilahkan dengan Kalimat Kekhalifahan, dengan pengertian bahwa, manusia diciptakan oleh Allah SWT. di muka bumi ini sebagai khalifah Allah SWT. Apa bukti yang menunjukkan bahwa manusia itu sebagai khalifah? Yaitu kalimat bismillahirrohmanirrohim . Seseorang jika ingin mendapatkan legalitas dari Allah untuk mencabut nyawa seekor kambing, maka orang tersebut haruslah mengucapkan nama Allah. Kalau tidak maka apa yang ia lakukan adalah suatu pelanggaran, dan dia dihukum dengan tidak boleh memakan hewan tersebut. Seorang juru bicara pejabat menteri, jika ingin menyampaikan suatu amanat dari pejabat tersebut , maka terlabih dahulu dia harus mengatakan “Atas nama Bapak Pejabat Menteri”, karena dengan begitu, maka dia sudah mendapatkan legalitas untuk berbicara, d...

Sejarah Nabi #7

Sumur Zamzam Sahabat fillahku, atas kehendak Allah SWT jua, Nabi  Ibrahim as. mengajak Bunda Hajar dan bayinya pergi jauh, jauh sekali; ke tengah sebuah lembah tandus yang sekarang disebut Mekah. Tempat itu merupakan tempat persinggahan rombongan pedagang. Akan tetapi, saat itu adalah saat-saat paling sepi sepanjang tahun. Tidak ada satu orangpun yang tampak di sana. "Aku harus meninggalkanmu," kata Nabi Ibrahim kepada istrinya. "Apakah ini kehendak Allah SWT?" tanya Bunda Hajar. Nabi Ibrahim  mengangguk pasti, "Allah pasti menjagamu dan anak kita." Kemudian, Nabi Ibrahim  pergi meninggalkan Bunda Hajar dan Ismail dengan bekal seadanya. Tidak lama kemudian, air pun habis. Ismail menangis kehausan. Bunda Hajar kebingungan, apalagi saat itu air susunya pun tidak keluar. Ke mana dia harus mencari air di tempat setandus ini? Bunda Hajar berlari ke puncak bukit terdekat. "Ya Allah hindarkan kami dari mati kehausan. Berikanlah k...

"Ketika Mas Gagah Pergi"

Sinopsis Buku  "Ketika Mas Gagah Pergi" Gita selalu bangga pada abangnya yang ia panggil Mas Gagah. Namun suatu hari Mas Gagah berubah! Berubah pula semua kehidupan Gita. Dan ketika kemudian Mas Gagah pergi, apa yang terjadi dengan Gita? Siapa Nadia Hayuningtyas dan lelaki berkemeja kotak-kotak yang selalu Gita lihat di dalam bus, kereta api, dan berbagai tempat ini? Dan mengapa lelaki itu mengingatkannya pada Mas Gagah? Apa kata mereka tentang KMGP? Ketika Mas Gagah Pergi sangat menginspirasi saya sebagai remaja saat itu, dan membuat saya menjadi pribadi yang lebih peduli pada sekitas serta lebih mencintai Islam. Kisah ini abadi dan mampu mengubah pembacanya jadi lebih baik. (Asma Nadia, Penulis Buku-buku Best Seller Indonesia) Saya membaca KMGP saat SMP. Buku ini bukan hanya membuat saya bergetar dan menangis, namun mampu menginspirasi dan menggerakkan saya untuk berubah. Buku ini sangat saya rekomendasikan untuk anak-anak muda dan siapa saja. (Hamas Syahid...